“Nenek saya ingin saya memperoleh
pendidikan, karenanya ia tidak menginjinkan saya sekolah,
“ demikian Everett Reimer mengutip kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian
pendahuluan bukunya School is Dead.
Benarkah
sekolah sudah mati? Mungkinkah ada masyarakat tanpa sekolah? Mengapa pendidikan
hakikatnya adalah upaya pembebasan? Bagaimana mungkin pendidikan dapat
menindas? Sejauh mana sekolah telah menjadi candu? Demikian dalah beberapa
pertanyaan mendasar yang selama Orde Baru tidak pernah dijawab memuaskan.
Mendengar
kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana
orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji
sesuatu.
Kata
itu umumnya diacukan pada suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi besar,
dengan segenap kelengkapan perangkatnya : sejumlah orang yang belajar dan
mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan
terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya. Padahal, dalam
bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola,
scolae, atau schola (Latin), kata
itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Nah, apa
dulunya tak terjadi kekeliruan pada Si Jan atau Si Jack, yang menyebut kata itu
dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school,
yakni asal mula kata sekolah dalam
bahasa kita sekarang?
Sebenarnya,
tak ada yang keliru. Pangkal perkaranya bisa dilacak kembali jauh ke belakang
zaman Yunani Kuno, zaman dan tempat asal-muasal kata tersebut. Plato dan Aristophanes
adalah orang yang pertama yang meninggalkan catatan tertulis menegnai ruang
kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah
itu hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang
ditritikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi.
Pengajaran membaca, menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai
pertimbangan sampingan.
Pada
awal Masehi, orang-orang Yahudi telah memberikan pengajaran di tempat yang
disebut Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika
kekristinan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan
bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran utamanya mengajarkan
hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan pemimpin-pemimpin
agama yang mengajar di gereja.
Sekitar
abad X-XI, pendidikan Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan
Barat. Melalui interaksi kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama
di Afrika Utara dan Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin
tentang matematika, ilmu alam, ilmu pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang
menjadi fondasi di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai kontribusi
terpenting pendidikan Islam dari Arab itu.
Dari
sejarah pendidikan yang utamanya dirangkum dari Encarta Encyclopedia itu, apa
yang sekarang kita kenal sebagai sekolah dan universitas boleh jadi berakar
dari Academy-nya Plato dan Lyceum-nya Aristoteles. Namun, dalam
arti yang lebih luas pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka
bumi. Dalam bentuknya yang informal maupun nonformal, pendidikan diberikan oleh
orang tua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi
informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh, belajar
bahasa, dan nilai-nilai serta perilaku yang mengekspresikan budaya
masing-masing.
Kalau
begitu, mudah saja menerangkan bagaimana kiranya kata sekolah yang semula cuma
berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu
sistem kelembagaan pendidikan yang kadang-kala dan celakanya sekaligus
diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri. Kata itu memang mesti
dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan
perkembangan peradaban umat manusia di mana lembaga itu mewujudkan diri.
Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami
hakekat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah.
Bagaimana sebenarnya ia mewujud untuk saat ini, sebagai hasil dari suatu
perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah mana mestinya ia ditujukan untuk
menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.
Dicuplik
dari Roem Toepatimasang, 1998, Sekolah Itu candu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
0 komentar:
Posting Komentar