3 Okt 2012

Melacak Asal Usul sekolah

“Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya ia tidak menginjinkan saya sekolah, “ demikian Everett Reimer mengutip kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian pendahuluan bukunya School is Dead.
Benarkah sekolah sudah mati? Mungkinkah ada masyarakat tanpa sekolah? Mengapa pendidikan hakikatnya adalah upaya pembebasan? Bagaimana mungkin pendidikan dapat menindas? Sejauh mana sekolah telah menjadi candu? Demikian dalah beberapa pertanyaan mendasar yang selama Orde Baru tidak pernah dijawab memuaskan.
Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu.
Kata itu umumnya diacukan pada suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi besar, dengan segenap kelengkapan perangkatnya : sejumlah orang yang belajar dan mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya. Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae, atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada Si Jan atau Si Jack, yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam bahasa kita sekarang?
Sebenarnya, tak ada yang keliru. Pangkal perkaranya bisa dilacak kembali jauh ke belakang zaman Yunani Kuno, zaman dan tempat asal-muasal kata tersebut. Plato dan Aristophanes adalah orang yang pertama yang meninggalkan catatan tertulis menegnai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah itu hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang ditritikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca, menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai pertimbangan sampingan.
Pada awal Masehi, orang-orang Yahudi telah memberikan pengajaran di tempat yang disebut Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika kekristinan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran utamanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan pemimpin-pemimpin agama yang mengajar di gereja.
Sekitar abad X-XI, pendidikan Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan Barat. Melalui interaksi kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama di Afrika Utara dan Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin tentang matematika, ilmu alam, ilmu pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang menjadi fondasi di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai kontribusi terpenting pendidikan Islam dari Arab itu.
Dari sejarah pendidikan yang utamanya dirangkum dari Encarta Encyclopedia itu, apa yang sekarang kita kenal sebagai sekolah dan universitas boleh jadi berakar dari Academy-nya Plato dan Lyceum-nya Aristoteles. Namun, dalam arti yang lebih luas pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam bentuknya yang informal maupun nonformal, pendidikan diberikan oleh orang tua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh, belajar bahasa, dan nilai-nilai serta perilaku yang mengekspresikan budaya masing-masing.
Kalau begitu, mudah saja menerangkan bagaimana kiranya kata sekolah yang semula cuma berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan yang kadang-kala dan celakanya sekaligus diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri. Kata itu memang mesti dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan peradaban umat manusia di mana lembaga itu mewujudkan diri. Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami hakekat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah. Bagaimana sebenarnya ia mewujud untuk saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.


Dicuplik dari Roem Toepatimasang, 1998, Sekolah Itu candu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar


0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri