Perlu ada perbandingan
2 dunia agar bisa menentukan hidup. Masuk ke dalamnya kemudian menarik nilai
dari masing-masing dunia, agar kita tidak mudah melakukan judge terhadap suatu
fenomena yang terjadi. Oleh karena itu perlu diadakan alternatif!
Saya baru sadar dan saya merasa bodoh. Ternyata keadaan
pendidikan negara kita ini sedang tidak baik-baik saja, ternyata realita dunia
pendidikan kita tengah mengalami perubahan sosial dalam keseluruhan sistem
pendidikan baik terdiri dari keluarga, masyarakat, media, dan sekolah.
Sentra pertama, keluarga merupakan cermin masyarakat.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat membawa dampak dan perubahan
struktur, bentuk maupun nilai-nilai keluarga. Konsep keluarga inti dengan satu
bapak yang bekerja mencari nafkah, satu ibu yang mengayomi dengan penuh kasih
sayang di rumah, dan anak-anak yang bahagia dan mendapat cukup perhatian, sudah
sulit dipertahankan dalam era pascamodern. Pada era pascamodern model keluarga
tersebut semakin sulit dipertahankan. Keadaan ke - 2 orang tua yang sibuk
mencari nafkah, angka percaraian pun meroket. Globalisasilah yang berperan
dalam keadaan ini dimana selain membawa berbagai kemajuan sekaligus membawa
penyakit sosial.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka umumnya pihak keluarga
memberikan kepercayaan tinggi pada sekolah untuk membentuk anak-anak
pascamodern yang harus berkompoten dan siap menghadapi kegetiran hidup melalui
suatu pola pendidikan formal yang sejatinya telah memenjarakan daya kritis para
murid. Mengapa?. Berikut adalah fakta yang terjadi :
- 1. Filosofis yang sistematik.
Dimana dalam hal ini untuk melaksanakan
proses pendidikan murid harus melalui tingkatan yang terstruktur. Sebelum kita
masuk tahap SMP maka terlebih dahulu kita harus mempunyai legalitas lulus SD,
sebelum kita duduk di kelas 2 maka terlebih dahulu kita harus duduk di kelas 1,
dst. Misalnya mengapa sebelum menjalani proses belajar di sekolah tersebut
tidak ada diakadakan test kelayakan penempatan kelas, bisa saja kemampuan dan
pengetahuan murid yang seharusnya berada di kelas 1 sebanding dengan murid yang
duduk di kelas 2, sehingga murid tersebut dapat melulai proses nya langsung
melalui kelas 2.
- 2. Orientasi pada aturan dan kurikulum bukan pada anak.
Kebanyakan para guru yang telah
diikat oleh kurikulum untuk proses mentransfer ilmu nya dengan metode
masing-masing, terkadang ilmu tersebut ada yang sampai dengan baik ada pula
yang sama sekali tidak tersampai pada murid. Tidak ada pendekatan khusus ke
arah kreativitas murid. Mereka tidak melihat apakah anak itu membutuhkan dan
memahami ilmu tersebut dengan baik. Kemudian pergeseran kebutuhan akan ilmu
berganti pada kebutuhan legalitas yang dalam hal ini adalah ijazah. Pola pikir
yang tertanam pada kebanyakan murid hanya berorientasi pada nilai akhir, tidak
dalam keinginan betul-betul ingun memahami ilmu tersebut. Saya sendiri pun lebih
banyak menghapal dalam proses belajar bukannya memahami karena keterpaksaan
sistem tersebut, kemudian ilmu tersebut hilang setelah berhasil memperlihatkan
tanggung jawab saya pada guru saya bahwa menguasainya melalui wadah ujian dll, saya
sadar semua ini didasari tanpa rasa bahagia dalam prosesnya karena mengangapnya
menjadi suatu beban. Mungkin saya terlalu jenuh akan keseluruhan sistem yang
berlaku.
- 3. Pendekatan partikular non holistik.
Apresisasi yang diberikan hanya
kepada yang paling berkompetensi adalah luka kepada mereka yang merasa kurang
kompetetif dalam bidang sama. Padahal kita pun sadar setiap manusia memiliki
potensi dan kecerdasan masing-masing yang ingin diapresiasi dalam setiap
progresnya bukan hanya kepada mereka yang tergolong most. Kemudian pola ini akan menimbulkan pola pikir “dia memang
lebih baik dibanding saya” yang pada akhirnya akan melahirkan pecundang bagi
murid yang negatif dan perbaikan ke arah yang lebih baik pada murid yang
positif, namun jika lahir lagi sebuah pemenang maka akan ada pecundang lainnya
dan begitu seterusanya. Dalam hal ini saya sering mengalaminya sendiri dan
pernah melihat langsung adanya diskriminasi terhadap teman saya yang paling
kompetitif karena menjadi kesayangan guru menyebabkan kecemburuan sosial bagi
para yang tidak kompetitif dan secara tidak langsung strata sesama murid pun
terbentuk. Sikap individualis juga terbentuk hanya karena ingin menjadi yang
terbaik.
Melihat fenomena di atas dengan perspektif pedagogis rasanya
tidak mungkin mengabaikan kritik bahwa peran sekolah sebenarnya telah gagal
mengantarkan anak didik sebagai subjek pembelajaran manusia atas keseluruhan
proses hidup dan kehidupannya. Sejatinya sekolah dapat membangun paradigma
kritis pada muridnya. Membangun kepekaan social maupun pada alam agar terjadi
keserasian. Oleh karena itu kita membutuhkan suatu alternatif untuk menjawab
kasus ini, terlalu banyak korban akan kesalahan sistem akibat pergerseran dari
tujuan pendidikan itu sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar