6 Nov 2012

Korban Pendidikan Mainstream



Perlu ada perbandingan 2 dunia agar bisa menentukan hidup. Masuk ke dalamnya kemudian menarik nilai dari masing-masing dunia, agar kita tidak mudah melakukan judge terhadap suatu fenomena yang terjadi. Oleh karena itu perlu diadakan alternatif!

Saya baru sadar dan saya merasa bodoh. Ternyata keadaan pendidikan negara kita ini sedang tidak baik-baik saja, ternyata realita dunia pendidikan kita tengah mengalami perubahan sosial dalam keseluruhan sistem pendidikan baik terdiri dari keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. 

Sentra pertama, keluarga merupakan cermin masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat membawa dampak dan perubahan struktur, bentuk maupun nilai-nilai keluarga. Konsep keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah, satu ibu yang mengayomi dengan penuh kasih sayang di rumah, dan anak-anak yang bahagia dan mendapat cukup perhatian, sudah sulit dipertahankan dalam era pascamodern. Pada era pascamodern model keluarga tersebut semakin sulit dipertahankan. Keadaan ke - 2 orang tua yang sibuk mencari nafkah, angka percaraian pun meroket. Globalisasilah yang berperan dalam keadaan ini dimana selain membawa berbagai kemajuan sekaligus membawa penyakit sosial. 

Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka umumnya pihak keluarga memberikan kepercayaan tinggi pada sekolah untuk membentuk anak-anak pascamodern yang harus berkompoten dan siap menghadapi kegetiran hidup melalui suatu pola pendidikan formal yang sejatinya telah memenjarakan daya kritis para murid. Mengapa?. Berikut adalah fakta yang terjadi :


  • 1.      Filosofis yang sistematik.

Dimana dalam hal ini untuk melaksanakan proses pendidikan murid harus melalui tingkatan yang terstruktur. Sebelum kita masuk tahap SMP maka terlebih dahulu kita harus mempunyai legalitas lulus SD, sebelum kita duduk di kelas 2 maka terlebih dahulu kita harus duduk di kelas 1, dst. Misalnya mengapa sebelum menjalani proses belajar di sekolah tersebut tidak ada diakadakan test kelayakan penempatan kelas, bisa saja kemampuan dan pengetahuan murid yang seharusnya berada di kelas 1 sebanding dengan murid yang duduk di kelas 2, sehingga murid tersebut dapat melulai proses nya langsung melalui kelas 2.


  • 2.      Orientasi  pada aturan dan kurikulum bukan pada anak.

Kebanyakan para guru yang telah diikat oleh kurikulum untuk proses mentransfer ilmu nya dengan metode masing-masing, terkadang ilmu tersebut ada yang sampai dengan baik ada pula yang sama sekali tidak tersampai pada murid. Tidak ada pendekatan khusus ke arah kreativitas murid. Mereka tidak melihat apakah anak itu membutuhkan dan memahami ilmu tersebut dengan baik. Kemudian pergeseran kebutuhan akan ilmu berganti pada kebutuhan legalitas yang dalam hal ini adalah ijazah. Pola pikir yang tertanam pada kebanyakan murid hanya berorientasi pada nilai akhir, tidak dalam keinginan betul-betul ingun memahami ilmu tersebut. Saya sendiri pun lebih banyak menghapal dalam proses belajar bukannya memahami karena keterpaksaan sistem tersebut, kemudian ilmu tersebut hilang setelah berhasil memperlihatkan tanggung jawab saya pada guru saya bahwa menguasainya melalui wadah ujian dll, saya sadar semua ini didasari tanpa rasa bahagia dalam prosesnya karena mengangapnya menjadi suatu beban. Mungkin saya terlalu jenuh akan keseluruhan sistem yang berlaku.


  • 3.      Pendekatan partikular non holistik.

Apresisasi yang diberikan hanya kepada yang paling berkompetensi adalah luka kepada mereka yang merasa kurang kompetetif dalam bidang sama. Padahal kita pun sadar setiap manusia memiliki potensi dan kecerdasan masing-masing yang ingin diapresiasi dalam setiap progresnya bukan hanya kepada mereka yang tergolong most. Kemudian pola ini akan menimbulkan pola pikir “dia memang lebih baik dibanding saya” yang pada akhirnya akan melahirkan pecundang bagi murid yang negatif dan perbaikan ke arah yang lebih baik pada murid yang positif, namun jika lahir lagi sebuah pemenang maka akan ada pecundang lainnya dan begitu seterusanya. Dalam hal ini saya sering mengalaminya sendiri dan pernah melihat langsung adanya diskriminasi terhadap teman saya yang paling kompetitif karena menjadi kesayangan guru menyebabkan kecemburuan sosial bagi para yang tidak kompetitif dan secara tidak langsung strata sesama murid pun terbentuk. Sikap individualis juga terbentuk hanya karena ingin menjadi yang terbaik.

Melihat fenomena di atas dengan perspektif pedagogis rasanya tidak mungkin mengabaikan kritik bahwa peran sekolah sebenarnya telah gagal mengantarkan anak didik sebagai subjek pembelajaran manusia atas keseluruhan proses hidup dan kehidupannya. Sejatinya sekolah dapat membangun paradigma kritis pada muridnya. Membangun kepekaan social maupun pada alam agar terjadi keserasian. Oleh karena itu kita membutuhkan suatu alternatif untuk menjawab kasus ini, terlalu banyak korban akan kesalahan sistem akibat pergerseran dari tujuan pendidikan itu sebenarnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri