20 Jan 2012

Tentang gunting sjafruddin dan sanering

Dari wacana tentang adanya redenominasi, saya jadi tertarik untuk melihat sejarah dan perkembangan Rupiah di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan sanering. Yuk, kita ikuti ulasan singkatnya.

Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara (foto), Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk--utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.

19 Maret 1950 : Sanering pertama dikenal sebagai "Gunting Syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua, yang sebelah kiri dipakai sebagai alat pembayar sah dengan nilai semula. Sebelah kanan dan juga deposito di Bank ditukar dengan obligasi negara yang akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun.


25 Agustus 1959 : Sanering kedua uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45.Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai mata uang Rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965 1 US $ = Rp 35.000.

Wow!!!

13 Desember 1965 : Sanering ketiga terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru).


Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai mata uang Rupiah sehingga ketika terjadi Krisis Moneter di Asia ditahun 1997 nilai 1 US $ menjadi Rp. 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya Presiden Suharto maka nilai 1 US $ menjadi berkisar Rp 17.200.

Lalu apakah kebijakan menggunting uang ini bakal terulang di Indonesia? Memang tak terjadi lagi sanering di Indonesia. Namun ada kekhawatiran akan terus terjadinya pengurangan nilai tukar rupiah secara perlahan tapi pasti. Lihat saja, harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Apalagi harga-harga dilepas mendekati harga pasar internasional sementara pendapatan masyarakat masih standar lokal.

Banyak pula yang menduga bahwa kebijakan BI yang mencetak uang pecahan Rp2.000 dan secara perlahan mengurangi lembaran Rp1.000 pada hakekatnya menyerupai kebijakan sanering. Tentu saja kasus ini bukan termasuk kategori pengguntingan uang. Apalagi inflasi saat ini masih terjaga.

Tetapi setidaknya hal ini memperlihatkan bahwa harga-harga sekarang sudah sedemikian tinggi. Dulu barang yang dijual di harga Rp1.000 tapi saat ini sudah naik dua kali lipat sehingga akan lebih mudah menggunakan pecahan Rp2.000. Artinya rakyat harus merogoh saku lebih dalam untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tapi itu bukan berarti semua hanya diam. Perlu dilakukan peningkatan daya beli dan kesempatan berusaha agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dikutip dari berbagai sumber dengan perubahan*

Wacana Redenominasi Rupiah di Tahun 2013

Ternyata, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan sebesar Rp 1OO.OOO merupakan terbesar kedua setelah 500.000 dong yang dikeluarkan pemerintah Vietnam. Tadinya, Indonesia menempati posisi ketiga dan Vietnam yang kedua, setelah Zimbabwe yang pernah mengeluarkan pecahan Z$10 juta telah melakukan redenominasi terhadap mata uangnya.

Redenominasi adalah praktek pemotongan nilai mata uang suatu negara menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Uang dengan nominal besar dianggap kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Menurut kajian, mata uang Indonesia idealnya diredenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol. Sehingga apabila uang Rp 1.000 dipotong akan menjadi Rp 1, sementara uang Rp 10.000 menjadi Rp 10. Kalau ini terwujud maka pecahan sen akan berjalan kembali. Nilai uang ini harus dipastikan dapat digunakan untuk membeli barang yang sama. Praktek ini berbeda dengan sanering, yakni pemotongan nilai tukar. Dalam sanering, nilai tukar dikurangi sehingga nilai uang masyarakat berkurang. Kalau redenominasi hanya menghilangkan nol saja tetapi nilainya sama, kalau sanering memotong nilai uang.

Indonesia bisa saja melakukan redenominasi asal berhati-hati. BI sudah lama mempelajari dan melakukan riset mendalam mengenai hal ini. Selain itu, sangat dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat sehingga kebijakan ini tidak dianggap sebagai tujuan pemiskinan masyarakat. Saat ini orang kaya disebut sebagai miliarder akan berubah menjadi jutawan, Jutawan akan menjadi ribuwan.

BI juga mempelajari pengalaman negara yang pernah melakukan praktek ini seperti Rumania dan Turki. Kedua negara tersebut berhasil melakukan redenominasi mata uangnya meski dalam waktu yang lama. Di Rumania, pecahan terbesar di dalam mata uang itu angka nol-nya dipotong 4 digit, sementara itu Turki melakukan pemotongan enam digit nilai mata uang lira (TL). Dalam melakukan redenominasi Turki sangat disiplin sehingga berhasil dan dapat menyesuaikan mata uangnya dengan Euro. Turki telah melakukan kebijakan pemotongan pecahan mata uangnya cukup lama, sekitar tahun 90-an dan baru berhasil sekarang.


*pecahan baru Rumania (kanan) dan Turki (kiri) setelah redenominasi*

Jika gagal, Indonesia bisa bernasib sama seperti Zimbabwe. Pemotongan nilai mata uang justru menyebabkan inflasi melonjak hingga ribuan persen. Ini akan terjadi jika waktu penyesuaian harga barang, para pengusaha tidak disiplin. Misalnya harga barang Rp 1.000 per unit pada pecahan lama harusnya dengan pecahan baru menjadi Rp l per unit, tapi pengusaha ini tidak disiplin dengan menetapkan harga Rp 100 per unit pada pecahan baru.


*dampak hyperinflasi: 10 Triliun Zimbabwe*

Namun, sebelum menerapkan kebijakan redenominasi tersebut dibutuhkan beberapa persyaratan. Pertama, ekspektasi inflasi harus berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil. Kedua, stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas harga. Ketiga, kesiapan masyarakat. Kondisi Indonesia sekarang dirasa tepat karena sudah dirasa memenuhi persyaratan tersebut. Akan tetapi kewenangan penerapannya tetap ada di tangan pemerintah. Dana yang harus dikeluarkan juga sangat besar, karena jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta. Ini harus dilakukan agar tidak muncul kesan bahwa pemerintah melakukan sanering.

2 komentar:

Muhammad Fadillah Arsa mengatakan...

Jazakallah. Semoga bisa menambahkan https://vracarsa.blogspot.co.id/2016/10/alasan-penerapan-kebijakan-pemotongan.html

Mushiii mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri