20 Jan 2013

HaKI atas pengetahuan dan kreativitas, perlukah?



Privatisasi keahlian dan kreatifitas merupakan hal yang makin menjadi-jadi sekarang ini. Beberapa celah serius di dalam sistem hak cipta tengah muncul di permukaan. Sistem tersebut lebih menguntungkan para komersialisasi budaya daripada seniman. Hak cipta telah menjelma sebagai mekanisme bagi sekelompok kecil konglomerasi budaya untuk mengendalikan luas komunikasi kebudayaan. Sesuatu yang keluar hingga separah itu, dan yang telah merugikan berbagai kepentingan para seniman dan ranah publik. 

Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan karya sastra (Djumhana, 1995). Pemilikan tersebut bukan terhadap barang, melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia, misalnya berupa gagasan atau karya. Perlindungan HaKI diberikan melalui hak paten, hak cipta, atau merek dagang, kepada pemilik atau penemunya (Khor, 1993), dan dianggap sebagai alat untuk meningkatkan daya cipta dan prakarsa penemuan-penemuan baru.  

Negara maju mengatakan bahwa perlindungan HaKI akan membawa tiga manfaat yaitu : 1. Meningkatkan jumlah investasi langsung, 2. Meningkatkan alih atau transfer teknologi, 3. Meningkatkan kegiatan penelitian seta pengembangan inovasi di tingkat global. Tapi kenyataan sangat lain bahwa pemberlakuan HaKI banyak membawa masalah ekonomi dan sosial. Bagi kebanyakan seniman, keuntungan yang didapat dari hak cipta tidak memberikan jumlah yang berarti bagi intensif untuk menciptakan dan mempertunjukan seni. Nilai royalti hak cipta diputuskan oleh pasar dan oleh karena itu daya tawar menawar seniman dengan perusahaan-perusahaan industri kreativitas menentukan pendapatan yang diperoleh seniman tersebut dari hak cipta. Stok pekerja seni yang selalu bertambah akan mempengaruhi daya tawar menawar tersebut menjadi semakin lemah. Selain itu distribusi pendapatan perorangan dari hak cipta sangat timpang karena hanya dikuasai segelintir seniman papan atas yang memiliki jumlah penghasilan yang besar, sedangan kebanyakan pencipta atau seniman kelas menengah hanya memperoleh sedikit penghasilan dari beraneka ragam hak mereka.
Pada era digital saat ini memudahkan terjadinya produksi karya-karya seni, selayaknya karya seni yang benar-benar diproduksi. Mengapa? Bahwa memang benar dengan cara menemukan inspirasi, tema, atau bentuk-bentuk ekspresi tertentu di dalam karya-karya sebelumnya. Digitalisasi memampukan pinjam meminjam inspirasi. Realitas bahwa proses digitalisasi sekarang ini telah membabati akar sistem hak cipta (Alderman 2001; Lessig 2002; Litman 2001; Vaidyanathan 2003; 149-84). Dengan menghapuskan hak cipta maka proses adaptasi kreatif akan menikmati dan memanfaatkan peluang yang ada. Inilah hal yang paling menarik dari era digital ini.

Apakah tindakan ini menunjukkan tidak ada penghormatan para pencipta atau seniman pendahulu? Mari kita cermati dari sisi realitas terlebih dahulu. Suatu karya seni senantiasa dibangun di atas berbagai kerja keras yang dilakukan baik para pendahulu maupun mereka di masa sekarang. Para seniman yang datang belakangan bisa saja menambahkan sesuatu pada kesatuan karya yang sudah ada. Kita juga patut memberi penghormatan pada seniman tersebut. Tetapi tidak benar untuk memberikan kepada seniman atau produsernya suatu klaim eksklusif dan monopolistis atas sesuatu yang sebagian besarnya merupakan materi-materi kekayaan intelektual yang diambil dari ranah publik karena bisa dikatan mereka berhutang pada karya-karya para pendahulu. Sangat berlebihan untuk memberi seniman tersebut itu hak kekayaan intelektual eksklusif dan monopolistik atas tambahan yang ia berikan, dijamin kepemilikan 70 tahun setelah kematiannya, dan bahkan hak tersebut dapat diberi pada perseorangan dan perusahaan yang tidak berhubungan apapun pada proses kreatifnya. Hal ini juga dapat mematikan perkembangan ranah pengetahuan dan kreatifitas para seniman saat ini untuk persediaan materi-materi artistik yang dapat mereka kembangkan karena adanya privatisasi dan bisa jatuh ke tangan perorangan atau perusahaan. “Sesungguhnya, suatu rezim yang berpusat pada pencipta benar-benar memperlambat kemajuan ilmiah, menghancurkan peluang-peluang kreativitas, dan mengurangi ketersediaan produk-produk baru” (Boyle 1996: 119).

Mengenai adaptasi kebudayaan  dan bagaimana pasar harus diregulasi sehubungan dengan penipuan dan penjiplakan. Kita tentunya tidak mengusulkan bahwa si A dapat memsang namanya pada buku si B dan berpura-pura sebagai pencipta seni tersebut. Hal semacam itu adalah representasi yang keliru dari penipuan. Bila hal tersebut terjadi maka si plagiat tersebut seharusnya mendapat hukumannya yang adil dalam ranah pengadilan opini publik. Tidak perlu sistem hak cipta untuk melaksanakannya. Publik diberika hak untuk tidak sungkan-sungkan dan secara terbuka menguggat seorang seniman atas penipuan, hal ini juga melatih rasa awas dan kritis masyarakat. 

Salah satu alternatif yang juga kami tawarkan adalah pada sistem hak cipta yang berlaku sekarang, karya bukan lagi milik si pengusaha yang akan menjadi bagian dari ranah publik setelah hak cipta berakhir, melainkan sedari awal dipahami sebagai milik publik. Pencipta, sponsor, ataupun produser yang secara tidak langsung merupakan pengusaha yang menjajahkan produknya atas upayanya mengolah bahan-bahan dari ranah publik ini dapat diberi hak guna selama jangka waktu tertentu yang pengaturannya ketat. Mereka boleh mengambil manfaat ekonomi dari adanya hak guna kontemporer ini, tetapi tidak bisa menjualnya sebagai harta milik seperti, misalnya dia menjual suatu benda. Selama masa berlaku hak guna kontemporer ini, pengusaha memiliki hak untuk memanfaatkan karya sebagai sumber penghasilan dan bahkan mengoper hak guna ini pada pihak lain, tetapi karya tetap milik ranah publik. Hak guna temporer ini waktunya hanya terbatas yang menurut pengamatan disarankan hanya satu tahun.

Persepektif demokrasi tidak diizinkan raksasa-raksasa kebudayaan dengan jumlah terbatas dapat menentukan muat-muat komunikasi artistik dan kebudayaan, baik menggunakan media tradisonal maupun media baru. Demokrasi bukanlah hak milik istimewa bagi para konglomerasi budaya. Sangat perlu untuk menerapkan suatu regulasi kepemilikan dan regulasi isi untuk menyelenggarakan pasar kebudayaan dengan peroleh kesempatan yang terbaik. Pertama-tama sekali, tidak boleh ada modus distribusi yang dominan. Tidak boleh menjadi seorang pemilik tunggal, mendominasi, mengontrol,atau menentukan konsensus pasar untuk musik, film, atau buku.


0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri