Privatisasi keahlian dan
kreatifitas merupakan hal yang makin menjadi-jadi sekarang ini. Beberapa celah
serius di dalam sistem hak cipta tengah muncul di permukaan. Sistem tersebut
lebih menguntungkan para komersialisasi budaya daripada seniman. Hak cipta
telah menjelma sebagai mekanisme bagi sekelompok kecil konglomerasi budaya
untuk mengendalikan luas komunikasi kebudayaan. Sesuatu yang keluar hingga
separah itu, dan yang telah merugikan berbagai kepentingan para seniman dan
ranah publik.
Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup teknologi,
ilmu pengetahuan, seni, dan karya sastra (Djumhana, 1995). Pemilikan tersebut
bukan terhadap barang, melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia,
misalnya berupa gagasan atau karya. Perlindungan HaKI diberikan melalui hak
paten, hak cipta, atau merek dagang, kepada pemilik atau penemunya (Khor,
1993), dan dianggap sebagai alat untuk meningkatkan daya cipta dan prakarsa
penemuan-penemuan baru.
Negara maju mengatakan bahwa
perlindungan HaKI akan membawa tiga manfaat yaitu : 1. Meningkatkan jumlah
investasi langsung, 2. Meningkatkan alih atau transfer teknologi, 3.
Meningkatkan kegiatan penelitian seta pengembangan inovasi di tingkat global.
Tapi kenyataan sangat lain bahwa pemberlakuan HaKI banyak membawa masalah
ekonomi dan sosial. Bagi kebanyakan seniman, keuntungan yang didapat dari hak
cipta tidak memberikan jumlah yang berarti bagi intensif untuk menciptakan dan
mempertunjukan seni. Nilai royalti hak cipta diputuskan oleh pasar dan oleh
karena itu daya tawar menawar seniman dengan perusahaan-perusahaan industri
kreativitas menentukan pendapatan yang diperoleh seniman tersebut dari hak
cipta. Stok pekerja seni yang selalu bertambah akan mempengaruhi daya tawar
menawar tersebut menjadi semakin lemah. Selain itu distribusi pendapatan
perorangan dari hak cipta sangat timpang karena hanya dikuasai segelintir
seniman papan atas yang memiliki jumlah penghasilan yang besar, sedangan
kebanyakan pencipta atau seniman kelas menengah hanya memperoleh sedikit
penghasilan dari beraneka ragam hak mereka.
Pada era digital saat ini
memudahkan terjadinya produksi karya-karya seni, selayaknya karya seni yang
benar-benar diproduksi. Mengapa? Bahwa memang benar dengan cara menemukan
inspirasi, tema, atau bentuk-bentuk ekspresi tertentu di dalam karya-karya
sebelumnya. Digitalisasi memampukan pinjam meminjam inspirasi. Realitas bahwa
proses digitalisasi sekarang ini telah membabati akar sistem hak cipta
(Alderman 2001; Lessig 2002; Litman 2001; Vaidyanathan 2003; 149-84). Dengan
menghapuskan hak cipta maka proses adaptasi kreatif akan menikmati dan
memanfaatkan peluang yang ada. Inilah hal yang paling menarik dari era digital
ini.
Apakah tindakan ini menunjukkan
tidak ada penghormatan para pencipta atau seniman pendahulu? Mari kita cermati
dari sisi realitas terlebih dahulu. Suatu karya seni senantiasa dibangun di
atas berbagai kerja keras yang dilakukan baik para pendahulu maupun mereka di
masa sekarang. Para seniman yang datang belakangan bisa saja menambahkan
sesuatu pada kesatuan karya yang sudah ada. Kita juga patut memberi
penghormatan pada seniman tersebut. Tetapi tidak benar untuk memberikan kepada
seniman atau produsernya suatu klaim eksklusif dan monopolistis atas sesuatu
yang sebagian besarnya merupakan materi-materi kekayaan intelektual yang
diambil dari ranah publik karena bisa dikatan mereka berhutang pada karya-karya
para pendahulu. Sangat berlebihan untuk memberi seniman tersebut itu hak
kekayaan intelektual eksklusif dan monopolistik atas tambahan yang ia berikan,
dijamin kepemilikan 70 tahun setelah kematiannya, dan bahkan hak tersebut dapat
diberi pada perseorangan dan perusahaan yang tidak berhubungan apapun pada
proses kreatifnya. Hal ini juga dapat mematikan perkembangan ranah pengetahuan
dan kreatifitas para seniman saat ini untuk persediaan materi-materi artistik
yang dapat mereka kembangkan karena adanya privatisasi dan bisa jatuh ke tangan
perorangan atau perusahaan. “Sesungguhnya, suatu rezim yang berpusat pada
pencipta benar-benar memperlambat kemajuan ilmiah, menghancurkan
peluang-peluang kreativitas, dan mengurangi ketersediaan produk-produk baru”
(Boyle 1996: 119).
Mengenai adaptasi kebudayaan dan bagaimana pasar harus diregulasi
sehubungan dengan penipuan dan penjiplakan. Kita tentunya tidak mengusulkan
bahwa si A dapat memsang namanya pada buku si B dan berpura-pura sebagai
pencipta seni tersebut. Hal semacam itu adalah representasi yang keliru dari
penipuan. Bila hal tersebut terjadi maka si plagiat tersebut seharusnya
mendapat hukumannya yang adil dalam ranah pengadilan opini publik. Tidak perlu
sistem hak cipta untuk melaksanakannya. Publik diberika hak untuk tidak
sungkan-sungkan dan secara terbuka menguggat seorang seniman atas penipuan, hal
ini juga melatih rasa awas dan kritis masyarakat.
Salah satu alternatif yang juga
kami tawarkan adalah pada sistem hak cipta yang berlaku sekarang, karya bukan
lagi milik si pengusaha yang akan menjadi bagian dari ranah publik setelah hak
cipta berakhir, melainkan sedari awal dipahami sebagai milik publik. Pencipta,
sponsor, ataupun produser yang secara tidak langsung merupakan pengusaha yang
menjajahkan produknya atas upayanya mengolah bahan-bahan dari ranah publik ini
dapat diberi hak guna selama jangka waktu tertentu yang pengaturannya ketat.
Mereka boleh mengambil manfaat ekonomi dari adanya hak guna kontemporer ini,
tetapi tidak bisa menjualnya sebagai harta milik seperti, misalnya dia menjual
suatu benda. Selama masa berlaku hak guna kontemporer ini, pengusaha memiliki
hak untuk memanfaatkan karya sebagai sumber penghasilan dan bahkan mengoper hak
guna ini pada pihak lain, tetapi karya tetap milik ranah publik. Hak guna
temporer ini waktunya hanya terbatas yang menurut pengamatan disarankan hanya
satu tahun.
Persepektif demokrasi tidak
diizinkan raksasa-raksasa kebudayaan dengan jumlah terbatas dapat menentukan
muat-muat komunikasi artistik dan kebudayaan, baik menggunakan media tradisonal
maupun media baru. Demokrasi bukanlah hak milik istimewa bagi para konglomerasi
budaya. Sangat perlu untuk menerapkan suatu regulasi kepemilikan dan regulasi
isi untuk menyelenggarakan pasar kebudayaan dengan peroleh kesempatan yang
terbaik. Pertama-tama sekali, tidak boleh ada modus distribusi yang dominan.
Tidak boleh menjadi seorang pemilik tunggal, mendominasi, mengontrol,atau
menentukan konsensus pasar untuk musik, film, atau buku.
0 komentar:
Posting Komentar