11 Jul 2012

Sarabba VS Cappucino



Malam itu saya terjebak pada ketidaksadaran bahwa malam itu adalah ‘sabtu malam’ mungkin ini adalah efek kelamaan libur.  Tidak mau kalah dengan pasangan muda-mudi yang lain di sabtu malam ini kami ikut meramaikan kota, tapi kami disini bukan sepasang kekasih tepatnya kami adalah kawanan yang eksistensinya lebih dari sekedar teman dan pacar yah mereka sahabat saya. Paradigma saya tentang malam minggu terlanjur negatif entah mengapa mereka selalu saja meganggap malam ini spesial di banding malam-malam yang lain. Macet dimana-mana, cafe full dipenuhi para pasangan, harga tiket bioskop jelas naik, fly over pun penuh. Jelas rumah dan kamar adalah tempat terbaik untuk malam yang lebih cocok disebut ‘sabtu malam’ itu walaupun kalimat ini identik untuk fakir asmara atau para jomblo tapi saya rasa mereka jauh lebih rasional upss baiklah maksud saya KAMI jauh rasional melihat fenomena ini yeaah ! ini kebenaran bukan pembenaran :p
 
“Okesip jadi kemanaki’ lagi ini malam? Si Jey ngotot”
“Sembarang deh yang jelas nongkrong saja dan minumnya yang angat2  !” saya nyahut dan si Pisaa ikut ngangguk
Setelah lama berkeliling cari tempat sesuai ternyata cafe-cafe yang cocok dengan kantong kami sudah full dipenuhi mereka sebaya kami. Hingga kami pun menyerah berkeliling dan saat itu sedang tepat di depan salah satu Mall di jalan Ratulangi.
“Bingungmaa mau kemanaa lagi -_____-“
“iya jey capekmaa juga” jawab Pisa
“yahsud momi d apa yang paling dekat yah di dalam saja” kembali saya nyahut
“hah..? cukupji itu uangkah?” si Jey protes
“ckupkaan saja, mki kemana lagi??” jawab saya pasrah
BCC menjadi pilihan terakhir dan terpaksa, sebelumnya kami memang ogah nongkrong di tempat macam ini. Cafe ini terkenal hanya untuk mereka yang punya kantong tebal umumnya orang yang sudah kerja dan om-om eksekutif pada nongkrong disini sangat kontras dengan kita mahasiswa kere yang nabung 2 hari hanya buat beli pulsa. Dengan lagak borju kami pun duduk dengan manisnya membalas senyum mbak-mbak yang mebawakan kami menu hidangan yang disambut kekagetan kami melih1at mbak-mbak itu memakai seragam SD putih-merah setelah melihat sekeliling ternyata memang konsep cafe ini menyuruh para karyawannya berpakaian seperti itu menjadi hal yang kreatif dan random sekali -___- . Setelah memesan, tiba-tiba kami merenung dan galau berjamaah rasa sesal mendalam menghampiri kami.
“kek nda srek sekali ini suasananya” si Jey memecah keheningan.
“Sekarang malah bepikirka’ yang hangat2 kan bukan disini saja, sarabba lebih asik keknya” saya berpendapat.
“Nah itu jugaa yang saya pikir sekarang Jian, huah bakalan hangatki weh ditambah gorengannya awweh nyamannya itu ! “ ternyata pisa sependapat.
Seketika otak saya mengikuti lamunan tentang Sarabba. Sarabba adalah minuman penghangat badan yang sangat dikenal di kalangan Bugis-Makassar. Minuman ini dibuat menggunakan jahe (Zingiber offcinale) sebagai ramuan dan aroma utamanya. Minuman sejenis mudah didapat di daerah Jawa Tengah seperti wedang jahe. Namun campuran gula aren dan santan-lah membuat sarabba lebih kental dari wedang jahe. Seperti Makassar, sarabba mengalami perubahan. Bagi sebagian orang, mereka memperlakukan sarabba layaknya minuman kesehatan. Ada yang mencampurnya dengan telur ayam kampung, susu kental, maupun mix antara telur dan susu. Dan jadilah kawanan gorengan semisal ubi goreng, perkedel jagung, tahu goreng, tempe goreng, dan pisang goreng menjadi makanan pendamping sarabba. Kalau ditanya masalah harga? Sarabba jelas sangat bersahabat dengan kantong anda.
Kami mencoba menikmati malam itu dengan cappucino dan hot cokelat masing-masing. Rasa kecewa kembali menghampiri saya setelah menyeguk capuccino itu yang sangat tidak berdamai dengan lidah saya, selain tidak terlalu menyukai kopi kehangatan sarabba masih terbayang di lidah saya.

Dan pelajaran berharga kami peroleh dari malam ini, kami para generasi muda kota ini tengah banyak mengalami perubahan. Kebanyakan dari kami hanya memburu prestise dengan menggunakan hasil dan budaya mereka kaum barat. Padahal jelas kita mempunyai selera dan budaya sendiri yang lahir dari pola hidup kita masing-masing.
“Misi mbak tolong bill-nya di meja ini yah”
“Oh iya, misi ini mbak” jawab si mbak-mbak
“HADDEHHHH T_T nda bisami lebih mahal ini mbak 3 gelasji lagi”
Kami pun pulang sambil pukpuk dompet dan berharap besok ada keajaiban M-KIOS tiba-tiba sms tanpa disuruh.



                                


0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri