9 Jan 2012

Slogan keliru “Makassar menuju kota dunia”


Terlalu banyak hal dalam kehidupan hal di depan mata yang baik kita sadari maupun tidak disadari yang kita apresiasi maupun yang tidak kita setujui terjadi begitu saja dan sadar sebagai penanggung tanggung jawab intelektualitas seyogyanya kita memang menganalisa dan mengavaluasi suatu ketimpangan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.
Kali ini saya ingin mengkritik tentang judul yang tertera jelas di atas Slogan keliru “Makassar menuju kota dunia” terlintas memang apa yang salah dengan majunya kota ini menjadi kota dunia bukankah akan berdampak lebih baik inikan globalisasi ??, tapii
Coba kembali lihat realita yang terjadi pantaskah slogan ini tertera di dimana-mana dengan keadaan dan kenyatan kota yang ‘5 semakin ini:  Semakin semrawut, semakin macet, semakin kotor, semakin tak nyaman, dan semakin tidak jelas mau dibawa kemana.  
Apa yang dibutuhkan kota ini, tak lain adalah pertanyaan yang dijawab secara tepat.

Pertanyaan seperti: “Jika pemkot tidak dapat mengendalikan peningkatan penduduk, apa yang harus dilakukan? Jika tidak dapat mengantisipasi tingkat urbanisasi, apa yang harus dilakukan? Jika tidak dapat menahan laju jumlah kendaraan, untuk mengurangi kemacetan, apa yang harus dilakukan? Jika kesemrawutan tata kota sudah terlanjur terjadi, apa yang harus dilakukan? Jika gudang-gudang tetap tidak bisa disterilkan dalam kota, apa yang harus dilakukan? Jika lahan terbuka hijau semakin menyempit digantikan oleh tumbuhan beton, apa yang harus dilakukan? Jika pedagang kaki lima semakin menjamur dan sulit dikendalikan, apa yang harus dilakukan? Dan beberapa pertanyaan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah kenyataan yang dilahirkan oleh pemkot sendiri yang tak mampu dijawabpun, jika bisa, atau ada solusi yang didapatkan, itu pun belum selesai sampai di situ. Pertanyaan yang kemudian lahir adalah mampukah wali kota menerapkan solusi itu?
Nah bandingkan saja kota yang yang mempunyai slogan panjang berbunga-bunga ini dengan kota Solo dan Jogja adalah dua kota yang bersahaja yang membuktikan pembangunan kotanya dengan cara tegas namun berpihak pada warga yang tidak peduli pada slogan macam-macam, apalagi kota dunia, sepanjang warganya merasa nyaman. Apalah artinya meraih pengakuan dunia di tengah ketidaknyamanan warga(?) Tentang kondisi kota, yang lebih tahu dan lebih merasakannya tentu adalah warga, bukan anggota forum internasional.
Disana masih jelas terasa kualitas kebudayaan yang sangat kental yang menjadi daya tarik pribadi kota itu dengan struktur yang bersahaja namun mengandung value tersendiri walaupun sudah menjadi salah satu komunitas urban di Indonesia, melihat dari sisi social Makassar mulai berdiri dengan beberapa prinsip dasar bahwa hidup ideal adalah hidup bersama dan merasa senasib-sepenanggungan sebagaimana prinsip orang Bugis padaidi, padaelo, sipatuo, sipatokkong. Prinsip yang mengandung makna relevan, juga dapat ditemui di kalangan orang-orang Makassar seperti: abbulo sibatang (bermakna pentingnya kebersamaan dalam segala hal). Hal ini identik dengan pernyataan Lawson (2001) bahwa pengelompokan permukiman terbentuk atas dasar kepercayaan dan latar budaya masyarakat. Bahkan menurut penulis buku The Language of Space ini, bahwa anggota masyarakat hidup dalam proses pemanfaatan wilayah pemukiman untuk kelangsungan tradisi atau warisan budaya ini karena adanya fanatisme etnosentrisme yang dulu menjadi factor demarkasi ekologis berdasarkan etnik di Makassar. Social-kultur bahkan pencapaian menuju kota dunia itu akan semakin memperjelas demarkasi atau pemisahan yang terjadi serta tumpang tindih pada proses sosialnya.
Kuatnya arus desakan kaum pemilik modal kota mengekspansi wilayah ke arah pemukiman-pemukiman berbasis (budaya) lokal, pada gilirannya telah meluluhlantakkan basis-basis kultural yang semestinya menjadi warna dan nuansa tersendiri dari wajah kota Makassar. Akibatnya, identitas (jati diri) sebuah kota (Makassar) pun hilang secara gradual digantikan oleh identitas baru yang semu.

Akhirnya, hanya beberapa identitas sosial dan simbol kultural etnik yang masih tersisa oleh “ganasnya” gelombang modernisasi dan globalisasi kota. Sebut saja identitas perkampungan orang-orang Melayu, dewasa ini hanya dapat dilihat melalui Masjid Makmur Melayu, jejak komunitas orang-orang Wajo pada Masjid Taqwa, peninggalan komunitas orang-orang Maluku pada Masjid Maluku, dan Klenteng-kelenteng di Jalan Sulawesi sebagai jejak perkampungan orang-orang Tionghoa di Makassar. 

Dalam kaitannya dengan kontruksi kultural, maka perkembangan Kota Makassar sejauh ini lebih diwarnai oleh ideologi baru dan strategi politik penguasa. Dengan demikian, tidak adanya kelompok strategis (seperti kata Evers) yang mampu mendominasi kontruksi kultural kota, maka sama artinya membuka ruang sekaligus peluang kepada struktur-struktur lain muncul dan kotapun akhirnya akan tampil plural (majemuk). Kondisi seperti ini pada gilirannya akan berkembang menjadi fragmentasi dimana masing-masing kelompok sosial menduduki ruang-ruang tertentu yang cukup jelas garis demarkasinya, inikah dampak dari menuju kota dunia itu?
Dan menurut saya tidak usah terlalu bermuluk-muluk masih banyak pertanyaan yang tidak sanggup dijawab !! Ke depan, Makassar nampaknya membutuhkan wali kota yang tidak banyak omong namun terbukti bekerja dengan tegas. Warga tidak butuh slogan panjang, berbunga-bunga, melambung tapi kosong. Kota Makassar lima tahun ke depan membutuhkan sosok yang berani membuktikan kemampuannya untuk menyamankan kota ini dari kemacetan. Itu saja!
Tapi apa boleh buat, kota kita ini semakin dipenuhi pertanyaan. Apakah wali kota tidak bisa menjawab? Bisa! Bahkan lancar dan mantap jawaban-jawabannya. Apakah kemudian itu sesuai atau tidak, dijalankan atau tidak, itu persoalan lain; dan itu adalah bahasa kegagalan ala penguasa. Dan yang pasti, kesemrawutan dan kemacetan yang terjadi di Makassar adalah akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan secara sadar dan cermat; yang tidak mungkin luput dari pengetahuan wali kota.
Kota yang diatur orang yang tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Kesembrawutan Makassar, cermin pribadi sang penguasanya !! Sekian.


2 komentar:

Andi Batara al-Isra mengatakan...

Sekedar info, Jogja sebenarnya itu kota dunia...

Tinta maple mengatakan...

Oh okesip maaf atas ketidaktahuanku, jdi bmna msh stuju? Mana tulisanmu mka baca postitif dan negatifnya?

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri