Di teras ini aku menunggu. Setiap pagi dan malam sebelum dan
setelah aktivitasku meradang. Terlebih jika akhir pekan dan liburan, aku duduk
diam dengan buku di tangan dan harapan yang dibawa pelangi di awan.
Di teras ini aku menunggu. Menunggu kecupan pipi hangatmu
yang terselip di setiap pamitanku. Menanti senyuman yang menjadi kehangatan
tersendiri di tiap hariku. Masa kecilku yang indah di balutkan dengan asa serta
mimpimu.
Letih menemaniku. Tapi aku percaya. Sepercaya bumi pada
matahari yang setia pada cahayanya, atau sepercaya air yang kembali ke muara.
Aku merindukanmu. Bagaimana tidak? Darahmu juga mengalir
deras di tubuhku. Aku masih berharap belaian hangat tanganmu kembali membimbing
kami. Hilang. Kamu menghilang bagaikan pelangi yang selalu di nanti langit akan
kedatanganmu.
Gerah dengan semua
ketidakpastian ini, walau kami hanya bisa mendengar kabarmu dari angin, dari
hujan yang turun di hari tertentu, atau bintang-bintang yang berkedip
menggodaku. Tapi aku puas. Walau hanya bisa mendengar suaramu dari jarak
ratusan meter, menjadi sepintal senyum yang bertahan sekian tahun karena dapat
memastikan kami baik-baik saja dan masih menunggumu.
Pagi itu adalah yang tidak terlupakan dan tidak dapat terhapuskan
dalam memoriku.
Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada
orang yang berteriak, “keluar!”
Seketika saya, dan ke-2 adik saya berlari masuk ke dalam
rumah dengan raut wajah yang penuh ketakutan. Saya terkejut ketika di depan
pintu terlihat 30 orang membawa senjata. Kami diam tak bersuara dan para polisi
khusus itu masuk ke dalam rumah.
Tanpa izin mereka mengepung segala sisi rumah kami membabi
buta mencari abah. Dan sepasang daun pintu kamar abah pun ditendang. Tidak ada
baku tembak, tidak ada perlawanan, karena abah masih larut dalam sholatnya,
sedang membaca surah Al-Qur’an sehabis membaca surah Al-Fatihah. Tapi
orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa abah, sholat abah dihentikan
secara paksa. Abah ditendang dengan saat sholat disertai pijak-pijak kasar
hingga babak belur.
Kami hanya mampu menangis dipelukan Umi yang tak mampu
menolong abah. Ingin rasanya aku memeluknya sebelum diseret paksa oleh pasukan
bersenjata dan abah pun tidak henti-hentinya meneriakkan takbir Allahu Akbar,
Allahu Akbar.
Aku biasa melihat
adegan ini di TV, tapi yang aku tahu merekalah para penjahat biasa yang berakhir
seperti ini. Lantas abah?
Seiring berjalannya waktu, aku pun paham. Terkhianati oleh
pengabdiannya, mereka menyebutnya teroris
salah satu yang paling di cari di negara ini. Entahlah, aku semakin tidak
mengerti yang saya tau beliau hanya melaksanakan tugasnya dengan baik seorang
aktivis dakwah, seorang qawwam keluarga, seorang yang berwibawa dan selalu
menginspirasi. Dengan paradigma seperti inilah kami sanggup bertahan hidup
tanpa dia yang nun jauh di sana terkurung lemah di negeri orang. Walaupun tidak
dapat dipungkiri masyarakat telah memberikan kami label sebagai keluarga
seorang teroris.
Tahukah kamu?
Layaknya sebatang
lilin. Dia terlalu penyanyang. Mengorbankan dirinya untuk mampu menerangi
sekitarnya. Agar seorang anak dapat membaca buku di balik keremangan. Agar kami
tidak perlu gelisah jika listrik padam. Lantas ia hanya bisa menyaksikan dengan
kepasrahan. Perih? Mungkin. Senyum? Entahlah. Menunggu mati? Pasti. Namun,
sekali lagi ia sungguh penyanyang. Layaknya hidup yang dipenuhi kasih dan
pengorbanan sejati.
Layaknya sepotong kue cokelat. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi
istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Umi bagaikan sepotong kue
cokelat untuk kami. Mencegah kami dari lapar. Yang manisnya mengobati dari
pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya mebuat terlelap dan senyum. Yang
kehadirannya menghangatkan hati yang kalut.
Di suatu pagi
Aku masih ingat. Entah kenapa pagi itu aku bangun lebih awal
dari biasanya. Sayup-sayup firman Allah menjelang subuh membangunkanku kaget.
Setelah itu aku masuk ke dapur meneguk segelas air hangat.
“Alhamdulillah, sudah bangun Nak?’’
Aku mengangguk sambil garuk-garuk dan duduk di meja makan.
“Umi, hari ini bikin kuenya kepagian, banyak pesanankah Umi?”
Umi membalasnya dengan senyum. Seketika saya sadar setiap hari minggu toko
kue dan catering Umi pasti dibanjiri dengan pesanan. Usaha ini yang menopang
keluarga kami, berkat berkah tangan ummi yang tidak pernah menyerah.
“Abah kapan pulang Umi? Aku rindu. Abah juga mesti bantu umi
jualankan?” Dengan muka sedih.
“Umi yakin abah pun sebaliknya rindu dengan kita semua di
sini, yang sabar kamu nak yah nanti jugakan abah bakal pulang dan bisa bantu umi”
“Memangnya teroris itu apa umi? Jahatkah ia? Apakah abah
seorang teroris umi? Kenapa mereka begitu membencinya?
Seketika umi membelai lembut rambutku disertai kehangatan
senyumnya.
“Abah kamu bukan seorang teroris Ahmad sayang, beliau seorang
lelaki langit yang datang bersama cahaya. Berjuang dijalan Allah membela
kebenaran dan berusaha mencegah yang bathil. Layaknya seorang superhero pasti
mempunyai banyak musuh begitu pun beliau banyak yang berusaha menghentikan langkahnya.
Oleh karena itu Ahmad harus bangga punya abah dan meneruskan perjuangannya
sebagi muslim sejati. Kita hanya perlu bersabar nak”
Aku hanya mampu duduk terdiam dan menyerap seluruh perkataan
umi hingga tersusun rapi di alam bawah sadarku. “Abah ku adalah superhero
beliau bukan teroris. Hanya ingin membela kebenaran. Mereka hanya tidak
mengerti” membatin.
10 tahun sejak kepergianmu.
Aku tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Pendiam. Begitu
mereka mengkategorikanku, entahlah aku hanya memilih sepi menjadi temanku. Jauh
aku merasakan ketenangan ketika membuat duniaku sendiri. Aku tak punya kawan.
Salah, mungkin mereka lah yang minder dan malu berkawan denganku. Tinggalah
Raqib-Atit yang masih setia berada di samping kanan dan kiriku walaupun mereka
selalu sibuk akan catatannya. Label itu masih tetap menggantung di leherku
beban moril itu masih harus aku pertanggung jawabkan anak seorang teroris itulah sisi yang paling bersinar yang mereka
tahu tentang diriku.
Paradigma sebagai anak superhero masih membuatku bertahan,
walaupun akhirnya saya sadar bahwa itu hanya suatu pembenaran berbuah kenyamanan.
Chaos antara hati dan pikiran menjadi
bahan perenungan yang banyak menghabiskan waktuku.
Kegiatan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan
dalam usaha mencapai tujuan, benang merah dari kegiatan seorang teroris.
Benarkah cara itu? jelas hatiku membantah. Islam adalah agama yang fleksible.
Bukankah Dia menciptkan kita melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam bukti
bahwa kegiatan merusak jelas salah untuk saling menjaga dan menghargai antar
sesama makhluk hidup. Tapi bagaimana dengan jihad?. Bukankah menteror musuh
Allah juga hal yang diserukan dalam agama ini jelas harus dipondasi dengan niat
yang kuat. Jelas dunia sekarang sedang berpijak pada kejahilan penindasan
terhadap muslim sudah menjadi rahasia umum yang di butakan oleh pihak media. Entah.
Saya dan semua pasti hanya memilih satu jalan : ketenangan. Nihil kita
menemukannya ketika masih menghembuskan nafas.
Beginalah aku memaknai hidup. Hidup
adalah proses bertanya. Jawaban adalah proses dinamis yang berubah seiring
dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, saya yakin pertanyaanlah yang
membuat kita maju.
Patah hati. Lelah. Aku butuh pelarian
Di suatu pagi, seperti biasa aku menghabiskan waktuku
merenung di teras rumah. Hingga ia datang, lelaki berseragam memakai topi dengan
tampang polos membawa se-paket surat. Aku mengambilnya dan lekas memanggil Umi
dan ke-2 adik perempuanku. Ini aneh tidak pernah sebelumnya kami mendapat
kiriman seperti ini. Jika ingin menghubungi abah sebisanya kita melalui
telepon. Kejanggalan identik dengan kabar buruk.
Dan benar saja. Setelah 10 tahun yang berakhir kekecewaan.
Letih kami menunggumu dengan penuh harapan dengan penuh keyakinan bahwa engkau
sama sekali tidak bersalah. Kami keliru. Kau telah memilih jalan ketenangan
dengan caramu, yang sebenarnya aku sangat membencinya. Selamat berbahagia di
sisiNya abah.
Belum selesai aku menenangkan diri tiba-tiba umi menegurku
“Ahmad, ada sepucuk surat untukmu sepertinya wasiat langsung
dari ayahmu nak”
Untuk Kesatriaku
Ahmad, surat ini kau
baca menandakan abah telah bersama denganNya. Kutitipkan Umi dan ke-2 adikmu
perempuan padamu wahai kesatriaku. Abah selalu percaya padamu dan memohon
permintaan maafmu untuk beban yang seharusnya aku yang menopangnya. Ku titip
pula harapanku padamu nak LANJUTKAN PERJUANGAN MEMBELA AGAMA INI DENGAN CARA
ABAH BERSUNGGUH-SUNGGUH BERJIHAD DI JALAN ALLAH. Ku tunggu dikau di surga.
Layaknya tsunami. Tubuhku tak mampu menopang beban ini.
“Tuhan tunjukkan aku cara berjihad dijalanmu, dengan cara
yang kau ijinkan"!
2 komentar:
Jihaaaan :'(
iyaa nuuu :)
Posting Komentar