6 Nov 2012

Kiriman Terakhir



Di teras ini aku menunggu. Setiap pagi dan malam sebelum dan setelah aktivitasku meradang. Terlebih jika akhir pekan dan liburan, aku duduk diam dengan buku di tangan dan harapan yang dibawa pelangi di awan.
Di teras ini aku menunggu. Menunggu kecupan pipi hangatmu yang terselip di setiap pamitanku. Menanti senyuman yang menjadi kehangatan tersendiri di tiap hariku. Masa kecilku yang indah di balutkan dengan asa serta mimpimu.

Letih menemaniku. Tapi aku percaya. Sepercaya bumi pada matahari yang setia pada cahayanya, atau sepercaya air yang kembali ke muara.

Aku merindukanmu. Bagaimana tidak? Darahmu juga mengalir deras di tubuhku. Aku masih berharap belaian hangat tanganmu kembali membimbing kami. Hilang. Kamu menghilang bagaikan pelangi yang selalu di nanti langit akan kedatanganmu.

Gerah dengan semua ketidakpastian ini, walau kami hanya bisa mendengar kabarmu dari angin, dari hujan yang turun di hari tertentu, atau bintang-bintang yang berkedip menggodaku. Tapi aku puas. Walau hanya bisa mendengar suaramu dari jarak ratusan meter, menjadi sepintal senyum yang bertahan sekian tahun karena dapat memastikan kami baik-baik saja dan masih menunggumu.

Pagi itu adalah yang tidak terlupakan dan tidak dapat terhapuskan dalam memoriku.

Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang yang berteriak, “keluar!”

Seketika saya, dan ke-2 adik saya berlari masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang penuh ketakutan. Saya terkejut ketika di depan pintu terlihat 30 orang membawa senjata. Kami diam tak bersuara dan para polisi khusus itu masuk ke dalam rumah.

Tanpa izin mereka mengepung segala sisi rumah kami membabi buta mencari abah. Dan sepasang daun pintu kamar abah pun ditendang. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan, karena abah masih larut dalam sholatnya, sedang membaca surah Al-Qur’an sehabis membaca surah Al-Fatihah. Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa abah, sholat abah dihentikan secara paksa. Abah ditendang dengan saat sholat disertai pijak-pijak kasar hingga babak belur.

Kami hanya mampu menangis dipelukan Umi yang tak mampu menolong abah. Ingin rasanya aku memeluknya sebelum diseret paksa oleh pasukan bersenjata dan abah pun tidak henti-hentinya meneriakkan takbir Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Aku biasa melihat adegan ini di TV, tapi yang aku tahu merekalah para penjahat biasa yang berakhir seperti ini. Lantas abah? 

Seiring berjalannya waktu, aku pun paham. Terkhianati oleh pengabdiannya, mereka menyebutnya teroris salah satu yang paling di cari di negara ini. Entahlah, aku semakin tidak mengerti yang saya tau beliau hanya melaksanakan tugasnya dengan baik seorang aktivis dakwah, seorang qawwam keluarga, seorang yang berwibawa dan selalu menginspirasi. Dengan paradigma seperti inilah kami sanggup bertahan hidup tanpa dia yang nun jauh di sana terkurung lemah di negeri orang. Walaupun tidak dapat dipungkiri masyarakat telah memberikan kami label sebagai keluarga seorang teroris.

Tahukah kamu?

Layaknya sebatang lilin. Dia terlalu penyanyang. Mengorbankan dirinya untuk mampu menerangi sekitarnya. Agar seorang anak dapat membaca buku di balik keremangan. Agar kami tidak perlu gelisah jika listrik padam. Lantas ia hanya bisa menyaksikan dengan kepasrahan. Perih? Mungkin. Senyum? Entahlah. Menunggu mati? Pasti. Namun, sekali lagi ia sungguh penyanyang. Layaknya hidup yang dipenuhi kasih dan pengorbanan sejati.

Layaknya sepotong kue cokelat. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Umi bagaikan sepotong kue cokelat untuk kami. Mencegah kami dari lapar. Yang manisnya mengobati dari pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya mebuat terlelap dan senyum. Yang kehadirannya menghangatkan hati yang kalut.

Di suatu pagi

Aku masih ingat. Entah kenapa pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Sayup-sayup firman Allah menjelang subuh membangunkanku kaget. Setelah itu aku masuk ke dapur meneguk segelas air hangat.

“Alhamdulillah, sudah bangun Nak?’’
 Aku mengangguk sambil garuk-garuk dan duduk di meja makan.

“Umi, hari ini bikin kuenya kepagian, banyak pesanankah Umi?”

Umi membalasnya dengan senyum.  Seketika saya sadar setiap hari minggu toko kue dan catering Umi pasti dibanjiri dengan pesanan. Usaha ini yang menopang keluarga kami, berkat berkah tangan ummi yang tidak pernah menyerah.

“Abah kapan pulang Umi? Aku rindu. Abah juga mesti bantu umi jualankan?” Dengan muka sedih.

“Umi yakin abah pun sebaliknya rindu dengan kita semua di sini, yang sabar kamu nak yah nanti jugakan abah bakal pulang dan bisa bantu umi”

“Memangnya teroris itu apa umi? Jahatkah ia? Apakah abah seorang teroris umi? Kenapa mereka begitu membencinya?

Seketika umi membelai lembut rambutku disertai kehangatan senyumnya.

“Abah kamu bukan seorang teroris Ahmad sayang, beliau seorang lelaki langit yang datang bersama cahaya. Berjuang dijalan Allah membela kebenaran dan berusaha mencegah yang bathil. Layaknya seorang superhero pasti mempunyai banyak musuh begitu pun beliau banyak yang berusaha menghentikan langkahnya. Oleh karena itu Ahmad harus bangga punya abah dan meneruskan perjuangannya sebagi muslim sejati. Kita hanya perlu bersabar nak”

Aku hanya mampu duduk terdiam dan menyerap seluruh perkataan umi hingga tersusun rapi di alam bawah sadarku. “Abah ku adalah superhero beliau bukan teroris. Hanya ingin membela kebenaran. Mereka hanya tidak mengerti” membatin.
10 tahun sejak kepergianmu.

Aku tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Pendiam. Begitu mereka mengkategorikanku, entahlah aku hanya memilih sepi menjadi temanku. Jauh aku merasakan ketenangan ketika membuat duniaku sendiri. Aku tak punya kawan. Salah, mungkin mereka lah yang minder dan malu berkawan denganku. Tinggalah Raqib-Atit yang masih setia berada di samping kanan dan kiriku walaupun mereka selalu sibuk akan catatannya. Label itu masih tetap menggantung di leherku beban moril itu masih harus aku pertanggung jawabkan anak seorang teroris itulah sisi yang paling bersinar yang mereka tahu tentang diriku. 

Paradigma sebagai anak superhero masih membuatku bertahan, walaupun akhirnya saya sadar bahwa itu hanya suatu pembenaran berbuah kenyamanan. Chaos antara hati dan pikiran menjadi bahan perenungan yang banyak menghabiskan waktuku.

Kegiatan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, benang merah dari kegiatan seorang teroris. Benarkah cara itu? jelas hatiku membantah. Islam adalah agama yang fleksible. Bukankah Dia menciptkan kita melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam bukti bahwa kegiatan merusak jelas salah untuk saling menjaga dan menghargai antar sesama makhluk hidup. Tapi bagaimana dengan jihad?. Bukankah menteror musuh Allah juga hal yang diserukan dalam agama ini jelas harus dipondasi dengan niat yang kuat. Jelas dunia sekarang sedang berpijak pada kejahilan penindasan terhadap muslim sudah menjadi rahasia umum yang di butakan oleh pihak media. Entah. Saya dan semua pasti hanya memilih satu jalan : ketenangan. Nihil kita menemukannya ketika masih menghembuskan nafas.

Beginalah aku memaknai hidup. Hidup adalah proses bertanya. Jawaban adalah proses dinamis yang berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, saya yakin pertanyaanlah yang membuat kita maju. 

Patah hati. Lelah. Aku butuh pelarian

Di suatu pagi, seperti biasa aku menghabiskan waktuku merenung di teras rumah. Hingga ia datang, lelaki berseragam memakai topi dengan tampang polos membawa se-paket surat. Aku mengambilnya dan lekas memanggil Umi dan ke-2 adik perempuanku. Ini aneh tidak pernah sebelumnya kami mendapat kiriman seperti ini. Jika ingin menghubungi abah sebisanya kita melalui telepon. Kejanggalan identik dengan kabar buruk.

Dan benar saja. Setelah 10 tahun yang berakhir kekecewaan. Letih kami menunggumu dengan penuh harapan dengan penuh keyakinan bahwa engkau sama sekali tidak bersalah. Kami keliru. Kau telah memilih jalan ketenangan dengan caramu, yang sebenarnya aku sangat membencinya. Selamat berbahagia di sisiNya abah.

Belum selesai aku menenangkan diri tiba-tiba umi menegurku

“Ahmad, ada sepucuk surat untukmu sepertinya wasiat langsung dari ayahmu nak”
 Untuk Kesatriaku

Ahmad, surat ini kau baca menandakan abah telah bersama denganNya. Kutitipkan Umi dan ke-2 adikmu perempuan padamu wahai kesatriaku. Abah selalu percaya padamu dan memohon permintaan maafmu untuk beban yang seharusnya aku yang menopangnya. Ku titip pula harapanku padamu nak LANJUTKAN PERJUANGAN MEMBELA AGAMA INI DENGAN CARA ABAH BERSUNGGUH-SUNGGUH BERJIHAD DI JALAN ALLAH. Ku tunggu dikau di surga.
Layaknya tsunami. Tubuhku tak mampu menopang beban ini.

“Tuhan tunjukkan aku cara berjihad dijalanmu, dengan cara yang kau ijinkan"!

2 komentar:

cumi-cumi! mengatakan...

Jihaaaan :'(

Tinta maple mengatakan...

iyaa nuuu :)

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Tinta Maple
Theme by Yusuf Fikri